Pressure Group:

Sumbangan Kaum Muda dalam Membangun Kembali Timor Lorosa’e

Joao da Silva Sarmento, Koordinator Dewan Solidaritas

 

“A man travels the world over in search of what he needs and returns home to find it”

(Seorang melalang-buana untuk mencari sesuatu yang dibutuhkan dan kembali ke rumah untuk menemukan hal itu)

 

(George Moore, Filsuf)

 

Hari Sabtu lalu di sebuah kota dingin Davos di Swiss (hari minggu pagi di Timor Lorosa’e), berlangsung pertemuan tahunan dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) yang dihadiri oleh kurang lebih 3000 tokoh bisnis papan atas dunia dan para pemimpin politik dunia. Akan tetapi pertemuan ini diwarnai dengan protes yang dilancarkan oleh massa demonstran anti-globalisasi.

 

Empat buah mobil dibakar, sejumlah massa demonstran ditangkap dan tentu disiksa dengan gas air mata, air, dan pentung karet, oleh polisi.

Massa demonstran itu meneriakkan yel-yel anti-globalisasi yang antara lain berbunyi, “Justice, Not Profits!” (“Keadilan, Bukan Keuntungan!”), “Wipe Out the WEF!” (Hapus Saja Forum Ekonomi Dunia!”) dan lain-lainnya. Massa demonstran di daratan Eropa berusaha mengalir masuk ke dalam Swiss dan diperkirakan protes ini akan semakin seru dan menegangkan.

 

Protes serupa merupakan serangkaian protes anti-globalisasi yang telah terjadi di Seattle Amerika Serikat, Prague, Finlandia, S11 di Melbourne, Australia, dan di beberapa kota lain tahun-tahun belakangan ini.

 

Saya mengetahui berita ini bukan karena saya berjalan mengelilingi dunia dalam mimpi semalam tetapi karena dunia telah menjadi suatu “global village” yang mengandung arti bahwa apa yang terjadi di belahan dunia dapat diketahui. Demam akan imbas globalisasi sedang terjadi di mana-mana.

 

Sebagai contoh yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin. Ketidakadilan global, suatu kebobrokan yang ditentang oleh massa demonstran dalam contoh di atas. Kita bisa melihat hal ini dengan jelas dengan sedikit melongok ke dalam perkembangan Timor Lorosa’e dewasa ini. Contoh-contoh kecil yang dapat ditunjukkan adalah petugas keamanan, interpreter, guru, dan lain-lainnya di bawah label lokal dan internasional.

 

Budaya MacDonald dan Kentucky Fried Chicken pun telah menjadi ejawantahan nyata. Kol dan pisang di Mercado lama membusuk. Kol, pisang, nanas, dan barang-barang lainnya dari negara lain membanjiri pasar Timor Lorosa’e.

 

Minggu lalu mata para penghuni planet ini dibuat terbelalak dengan drama penggulingan Presiden Joseph Estrada dari Filipina lewat suatu kekuatan rakyat. People Power di Filipina ini merupakan yang kedua kalinya dalam sejarah Filipina setelah drama yang serupa menimpa Presiden Ferdinand Marcos lima belas tahun silam. Joseph Estrada digulingkan bukan karena masalah lain tetapi karena terlibat dalam penyakit kronis yang dinamakan korupsi.

 

Dan di sebuah negara tetangga Timor Lorosa’e pun, dua tahun silam mantan orang kuat Asia, Soeharto, terpaksa lengser prabon karena penyakit yang sama, korupsi. Joguslavia pun para pemuda, mahasiswa dan pendamba demokrasi pun menjungkilkan tokoh otoriter, despotik Slobodan Milosevic. Pemerintahan Gus Dur pun belakangan ini sedang digoyang oleh massa demonstran yang terdiri dari para pemuda, mahasiswa, dan penggiat demokrasi.

 

Itulah sedikit gambaran tentang pressure group yang terjadi di belahan dunia. Pressure Group ini melawan badan-badan otoritas yang mengeksploitasi rakyat banyak, korup, dan memerintah rakyat negeri dengan tangan besi.

 

Timor Lorosa’e belakangan ini dalam diskursus dan media di Timor Lorosa’e tidak sepi dari isu-ise seputar korupsi, ancaman terhadap media dan terhadap kelompok politik tertentu, manifestasi tindakan yang despotik, unholy trinity, dll. Payahnya ialah segala keburukan itu telah terjadi di Timor Lorosa’e. Tampaknya kotak Pandora itu sedang dibuka di Timor Lorosa’e dan segala benih kebubrukan itu telah beterbangan dan menguasai berbagai sendi kehidupan masyarakat.

 

Timor Lorosa’e membutuhkan suatu kelompok penekan (Pressure Group) agar mampu menjalankan misi check and balance. Gambaran yang saya sebutkan di dalam beberapa contoh di atas selalu berisi protes dan bentrokan.

 

Benar bahwa Timor Lorosa’e dewasa ini agaknya memang sepi dengan protes massa demonstran setelah karyawan WFP dan para guru sekolah dasar dan menengah. Lantas, apakah saya mengajak para hadirin sekalian untuk melakukan protes? Tidak! Protes hanya merupakan salah satu cara menyampaikan pendapat. Masih ada banyak cara dalam menyampaikan pendapat. George Orwell alias Eric Blair pernah mengutip Napoleon Bonaparte memerintahkan dalam sepekan diadakan suatu yang dinamakan demostran spontan.

 

Dewasa ini terdapat banyak masalah sosial di negeri Timor Lorosa’e. Konferensi ini pun secara konseptual bukan tidak meninggalkan suatu masalah. Ada fenomena bahwa orang lahir diberi makan dengan kongres, orang sakit diberi obat dengan konferensi, orang menuntut sekolah dibius dengan pelatihan dan kursus.

 

Secara pribadi say merasa sedih bahwa pada saat kita berkumpul untuk sebuah event yang bernama konferensi tentang pembangunan berkelanjutan kita sedang menjadi saksi bahwa serangkaian pembangunan yang tidak berkelanjutan sedang berlangsung bahkan di dalam ruangan ini sendiri dengan misalnya para penerjemah, institusi tertentu yang berupaya untuk membangun imperium kapatilisme berlabel badan-badan pemberi bantuan pembangunan, dan lain-lainnya.

 

Dalam konteks seperti ini konsep pembangunan berkelanjutan hanya menjadi suatu jargon yang disembah oleh negara-negara dunia tetapi paradigma ini tidak pernah berhasil dalam tingkat pelaksanaannya. Atau malah justru yang ada ialah Unsustainable Undevelopment, mengutip Noam Chomsky.

 

Magna Carta CNRT di Peniche Portugal pada 25 April 1998 menandaskan bahwa Timor Lorosa’e berkomitmen membangun suatu masyarakat sipil yang demokratis, multi-partai, dan menaruh respek mendalam terhadap hak-hak asasi manusia yang dibangun atas dasar identitas budaya Timor Lorosa’e.

 

Kaum muda di Timor Lorosa’e pun memberikan sumbangsih mereka dengan menjadi kelompok penekan yang tujuannya tentu memperjuangkan terbentuknya masyarakat sebagaimana desebutkan di atas. Kelompok penekan tidak boleh dipandang sebagai musuh atau tindakan anarkis sehingga perlu dibalas dengan sikap Kronos yang berusaha menelan anak-anaknya seperti dalam mitologi Yunani.

 

Sebagai penutup, ijinkanlah saya mengutip motto para penggiat lingkungan, “Berpikir global, bertindak lokal” (Think globally, act locally).